Senin, 07 Januari 2013


Selama puluhan tahun belakangan ini sebelum berlakunya Undang-undang Perlindungan Konsumen posisi dan kondisi konsumen di Indonesia terpuruk dalam berbagai aspek khususnya di bidang perlindungan konsumen. Hal ini karena belum adanya piranti hukum yang memadai untuk memberi perlindungan hukum pada konsumen. Kondisi yang demikian ini di perparah dengan tingkat kesadaran konsumen yang relatif rendah untuk menuntut haknya terhadap pelaku usaha. Belum adanya standar interpretasi terhadap Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 juga menyulitkan penegak hukum dalam menindak tindak kejahatan terkait perlindungan konsumen. Mengingat rata-rata kejahatan di bidang perlindungan konsumen menggunakan modus baru dan di selenggarakan secara struktural dengan melibatkan perusahaan – perusahaan multinasional, sedangkan para penegak hukum kita belum terlatih menjaring kejahatan intelektual dan masih terpaku pada alat bukti unsur subjektif dan objektif seperti pada KUHP, padahal kejahatan yang merugikan konsumen di depan mata kita tidak bisa di jaring karena nyaris tanpa meninggalkan bukti / tidak cukup bukti / dan keterbatasan kewenangan polisi, sebagai contoh berapa konsumen korban perampasan kendaraan yang dilakukan oleh finance dengan dalih menunggak 3x angsuran kendaraan di sita oleh finance padahal kewenangan menyita menurut hukum positif kita adalah Lembaga Pengadilan, berapa banyak korban konsumen penguna jasa telekomunikasi yang mengalami pulsa berkurang setelah menerima berbagai pertanyaan kuis oleh provider tanpa konfirmasi kepada konsumen dengan iming- iming hadiah walaupun sudah “ UnReg “ tetap saja melalui prosedur yang mengurangi jumlah pulsa, dan berapa banyak lagi penipuan bermodus hadiah dalam diterjen lalu konsumen transfer ke rekening seseorang lagi- lagi polisi tidak berwenang atau kesulitan melacak nomor rekening dengan dalih rahasia perbankan.

Untuk mengurangi jumlah korban lebih banyak lagi maka diperlukan upaya dari berbagai pihak sebagai langkah cegah tangkal terhadap sistem barang dan jasa yang beredar di masyarakat seperti pengawasan klausula baku yang menjadi kewenangan BPSK untuk meneliti dan mengawasi perjanjian antar konsumen dan pelaku usaha. Selanjutnya diterbitkannya sertifikasi bagi pelaku usaha yang telah memenuhi ketentuan Undang-undang perlindungan konsumen seperti para pedagang bakso dan pedagang makanan lainya harus menempelkan tanda sertifikasi pada stan warungnya. Atau tanda sertifikasi pada perusahaan jasa bahwa perjanjian telah diteliti dan memenuhi ketentuan seperti yang diatur dalam Undang-undang perlindungan konsumen.
Perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang perlindungan konsumen (UUPK) adalah segala upaya untuk menjamin kepastian hukum yang memberikan perlindungan kepada konsumen melalui azas keseimbangan yang berarti perlindungan konsumen tersebut tidak hanya diberikan kepada konsumen tetapi juga kepada pelaku usaha yang jujur, beretika baik dan bertanggung jawab. Bentuk perlindungan yang diberikan UUPK adalah dengan adanya pengakuan akan hak dan kewajiban konsumen maupun kepada pelaku usaha. Disamping itu secara komprehensif Undang-undang ini juga merinci jenis- jenis perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha sebagai upaya untuk melindungi konsumen. Larangan bagi pelaku usaha yang di normakan menjadi nilai-nilai perlindungan konsumen termasuk larangan pencantuman klausula baku yang dapat merugikan konsumen seperti tertuang dalam penjelasan pasal 18 UUPK bertujuan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Pengaturan klausula baku dalam produk Undang-undang, untuk pertama kalinya diatur dalam Undang- undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan koonsumen, memberi batasan bahwa klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat- syarat yang telah dipersiapkan dan diterapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha, yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Dengan adanya pengaturan klausula baku dalam UUPK, maka hal ini telah membatasi pengertian dan pemberlakuan azas kebebasan berkontrak yang dianut didalam pasal 1338 KUH Perdata. Hal ini berarti, azas kebebasan berkontrak hanya dapat dilaksanakan sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan Undang- undang termasuk dalam hal ini UUPK. Dengan demikian kedudukan konsumen diharapkan dapat setara atau seimbang dalam menghadapi pelaku usaha dalam membuat perjanjian.
Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 komentar

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© LPKNI Jawa Timur
Modifikasi oleh Perlindungan Konsumen Kerjasama dengan Majalah Suara Konsumen
Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top